Minggu, 19 Januari 2020

Cerita Panji dalam topeng Cirebon

Cerita Panji dalam Topeng Cirebon

Sepanjang yang saya ketahui, cerita Panji tidaklah begitu dikenal masyarakat Jawa Barat. Bahkan di Cirebon pun, yang konon merupakan pusat persebaran topeng di Jawa Barat, cerita tersebut kalah kurang begitu dikenal, walaupun penampilan topeng itu terasa sangat “Panjiisme”. Di Jawa Barat, cerita Panji kalah populer jika dibandingkan dengan cerita pantun atau wayang purwa (Mahabharata dan Ramayana). Dalam hal ini mudah difahami, karena kedua jenis cerita itu diusung oleh dua genre seni pertunjukan. Cerita pantun dilakonkan oleh juru pantun melalui pertunjukan pantun, dan cerita wayang dilakonkan dalam bentuk pertunjukan “boneka” wayang (kulit atau golek), atau wayang wong. Itulah sebabnya, mengapa di Jawa Barat, tradisi seni pertunjukan yang melakonkan cerita Panji amatlah jarang ditemukan.
Satu-satunya pertunjukan topeng yang (dulu) biasa melakonkan cerita Panji adalah topeng gaya Losari. Pada masa lalu, topeng gaya daerah tersebut pernah mempunyai tradisi melakonkan cerita Panji “karangan”, namun kini sudah amat jarang disaksikan lagi. Cerita tersebut biasanya ditampilkan setelah topeng babakan selesai ditampilkan dan gaya penyajiannya sangat mirip dengan wayang wong. Cerita Panji, sesekali juga hadir dalam pertunjukan wayang golek cepak di Indramayu.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa cerita Panji memang amat lekat dengan topeng Cirebon, bahkan menjadi salah satu ciri utamanya. Akan tetapi, bukanlah ceritanya yang disuguhkan melainkan hanya beberapa tokohnya yang diungkapkan dalam bentuk tari-tarian. Karakter tokoh-tokohnya “dipinjam” untuk mengungkapkan fenomena kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati; dari yang berwatak alus atau baik sampai “kasar” atau buruk; dan dari tingkatan syariat sampai makrifat. Oleh sebab itu, nama-nama tariannya, walaupun beberapa di antaranya sama dengan tokoh-tokoh dalam cerita Panji, tidak secara eksplisit menarasikan alur yang ada dalam cerita tersebut. Topeng Panji, Samba, dan Klana misalnya, gerakannya sama sekali bukanlah gambaran naratif tokoh dalam cerita Panji.
Cerita Panji sebagai background pertunjukan topeng Cirebon adalah salah satu ciri utamanya. Dalam hal ini, topeng Cirebon gaya Losari bisa dijadikan sebagai rujukan. Dalam topeng Losari, nama-nama tariannya senantiasa dikaitkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita Panji, misalnya Topeng Pamindo disebut sebagai tokoh Panji Sutrawinangun; Topeng Patih disebut sebagai tokoh Patih Jayabadra; dan Topeng Klana disebut sebagai tokoh Klana Bandopati atau Klana Budanagara. Demikian pula beberapa tari topeng gaya daerah lainnya, mengusung sebagian tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut, bahkan salah satu tarinya, yakni tari perang Topeng Tumenggung vs Jinggananom, penyajiannya lebih mirip dengan sebuah pragmen cerita Panji.

Kisah Panji yang “menempel” dalam pertunjukan topeng Cirebon sudah mulai luntur dan kini sudah banyak yang hilang. Hilang, seiring dengan meninggalnya para tokoh topeng itu. Kalaupun demikian, kita masih bisa menelusurinya kepada mereka yang pernah mengalaminya. Dalam hal ini, saya mempunyai beberapa catatan yang didapat dari seorang bodor topeng dari Indramayu, Plodro (Ropendi) namanya, dan dari Sujana, dalang topeng asal Slangit, tentang bagaimana cerita Panji itu sangat jelas “hadir” pada beberapa tarian topeng.
Mari kita perhatikan keterkaitan dan ketidakterkaitannya antara kelima tarian pokok dalam pertunjukan topeng Cirebon dengan cerita Panji berikut ini:

Topeng Panji yang Bukan Panji
Yakinlah, bahwa tari ini bukan menggambarkan tokoh Panji. Bahkan sebagain besar dalang topeng Cirebon, tidak mengetahui siapa tokoh Panji itu. Mereka hanya faham, bahwa Panji itu adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa “ibu” mereka, siji (satu) atau pertama. Mungkin pula disebabkan karena dalam pertunjukan topeng, tari Topeng Panji selalu ditarikan pada bagian pertama. Malah ada juga yang menganggap sebagai “kirata basa”, mapan sing siji (percaya pada Yang Satu). “pengaji, utawa ngaji, wong ngelmu iman, tauhid, marifat Islam Tarinya malah dimaknai sebagai seorang bayi yang baru lahir. Demikianlah pandangan mereka, sehingga lebih memperkuat penelisikkan, bahwa tari topeng ini tak sedikitpun mevisualisasikan tokoh Panji.
Jadi, Topeng Panji itu bukan siapa-siapa; bukan laki-laki atau perempuan; bukan pula wandu. Ia adalah pemaknaan Dewa turun dari Dunia Atas, menjelma menjadi raja. Dewa memanifestasikan dirinya menjadi raja-raja, dari dunia roh ke dunia material-jasmaniah. Sebagai dewa, raja tentu saja dia amat keramat. Kekeramatan raja ini disebarkan sebagai berkat ke segala arah mata angin kerajaannya. Hadirnya tari Topeng Panji pada awal pertunjukan mempunyai arti turunnya Dewa ke pusat kerajaan. Demikian kata Jakob Sumardjo. Topeng Panji berada pada dunia noumenal. “Dunia di balik makna-makna yang tidak bisa kita ketahui. Dunia benda-benda pada dirinya sendiri, tidak bisa disentuh oleh struktur akal manusia dan tetap tinggal penuh misteri dalam wajah dunia yang sensuous” (Kant dalam Sutrisno, 1999: 131).

henri nurcahyo
January 19, 2016

0 komentar:

Posting Komentar