KESENIAN TARI TOPENG CIREBON



 Tari topeng Cirebon adalah salah satu tarian di wilayah kesultanan Cirebon. Kesenian ini merupakan kesenian asli daerah Cirebon, termasuk Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, Losari, dan Brebes. Disebut tari topeng karena penarinya menggunakan topeng di saat menari. Pada pementasan tari Topeng Cirebon, penarinya disebut sebagai dalang, dikarenakan mereka memainkan karakter topeng-topeng tersebut.
   Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh satu penari tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.
Tari Topeng sendiri sebenarnya sudah ada sekitar abad ke-10 atau ke-11 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Panji Dewa, Raja Jenggala di Jawa Timur. Seni tari ini kemudian dibawa oleh seniman jalanan ke Cirebon yang selanjutnya mengalami proses akulturasi. Dari Cirebon, seni tari ini lalu menyebar lagi ke daerah-daerah lain di Jawa Barat. Di provinsi ini, terdapat dua jenis Tari Topeng, yaitu Tari Topeng Cirebon dan Tari Topeng Priangan.
Konon pada awalnya, Tari Topeng Cirebon ini  diciptakan oleh sultan Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon, terjadilah serangan oleh Pangeran Welang dari Karawang. Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang Curug Sewu.Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya sultan Cirebon memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara diplomasi kesenian.Berawal dari keputusan itulah kemudian terbentuk kelompok tari, dengan Nyi Mas Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, akhirnya Pangeran Welang jatuh cinta pada penari itu, dan menyerahkan pedang Curug Sewu itu sebagai pertanda cintanya.Bersamaan dengan penyerahan pedang itulah, akhirnya Pangeran Welang kehilangan kesaktiannya dan kemudian menyerah pada Sunan Gunung Jati. Pangeran itupun berjanji akan menjadi pengikut setia Sunan Gunung Jati yang ditandai dengan bergantinya nama Pangeran Welang menjadi Pangeran Graksan.Seiring dengan berjalannya waktu, tarian inipun kemudian lebih dikenal dengan nama Tari Topeng dan masih berkembang hingga sekarang.Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah.Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Tarian ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai.Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai.Setelah berputar-putar menggerakkan tubuhnya, kemudian para penari itu berbalik arah membelakangi para penonton sambil mengganti topeng yang berwarna putih itu dengan topeng berwarna biru.Proses serupa juga dilakukan ketika penari berganti topeng yang berwarna merah. Uniknya, seiring dengan pergantian topeng itu, alunan musik yang mengiringinya maupun gerakan sang penari juga semakin keras.Puncak alunan musik paling keras terjadi ketika topeng warna merah dipakai para penari.Setiap pergantian warna topeng itu menunjukan karakter tokoh yang dimainkan, misalnya warna putih. Warna ini melambangkan tokoh yang punya karakter lembut dan alim.Sedangkan topeng warna biru, warna itu menggambarkan karakter sang ratu yang lincah dan anggun. Kemudian yang terakhir, warna merah menggambarkan karakter yang berangasan (temperamental) dan tidak sabaran.Busana yang dikenakan penari biasanya selalu memiliki unsur warna kuning, hijau dan merah yang terdiri dari toka-toka, apok, kebaya, sinjang dan ampreng.
Simbol-simbol sarat makna dari sebuah pementasan Tari Topeng disampaikan melalui warna topeng, jumlah topeng, dan juga jumlah gamelan pengiringnya. Total jumlah topengnya ada sembilan, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lima topeng pokok (panji, samba atau pamindo, rumyang, tumenggung atau patih, kelana atau rahwana) dan empat topeng lainnya lainnya (pentul, nyo atau sembelep, jingananom dan aki-aki) digunakan jika lakon yang dimainkan berjudul Jaka Blowo, Panji Blowo, atau Panji Gandrung.
Lima topeng pokok disebut sebagai Topeng Panca Wanda yang artinya topeng lima watak. Panji, misalnya, diartikan sebagai seorang bayi iyang masih bersih atau tidak berdosa. Pamindo menggambarkan kesatria. Patih menggambarkan kedewasaan.
   Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya. Salah satu sanggar tari topeng yang ada di Cirebon ini yaitu Sanggar Seni Klapa Jajar yang bertempat bertempat di Kampung Kanoman Utara RT 02 RW 10 No. 21 yang dipimpin oleh Mamat Nur Rachmat.
Pemimpin sanggar yang kerap disapa Cah Mamat ini, telah berhasil meneruskan dan memperkenalkan sanggar kepada masyarakat sampai sekarang, sehingga seni tradisi yang menjadi khas Cirebon ini masih bisa dinikmati, bahkan bisa dipelajari generasi muda sebagai penerus. Tak heran dari keuletan dan keikhlasan, sanggarnya telah dipercaya untuk melakukan berbagai pementasan, baik untuk sosial, adat dan keagaamaan, maupun pementasan dalam suatu parade atau ajang festival-festival kebudayaan di seluruh kota, yakni Bogor, Bandung, Banten, Garut, Solo, Jakarta, Jogjakarta, Kalimantan.
   Sanggar seni Kelapa Jajar ini dibangun oleh ayahnya yang bernama P. Agus Djoni Arka Ningrat pada tahun 1970-an. Nama sanggar tersebut diambil dari nama gang Kelapa Jajar.
“Dengan adanya sanggar seni ini menjadi kewajiban bagi saya untuk melestarikannya, agar tidak mati,”  kata cah mamat.
“Bagi yang ingin belajar, kami fasilitasi tanpa dimintai biaya, memang kalau dihitung dengan matimatika itu semua biaya yang dikeluarkan banyak, tapi kan yang memberikan rizqi Allah, dan alhamdulillah bisa berjalan lancar. Dan kami hanya media penyalur bakat. Mereka berbakat di bidang tari atau di bidang musik itu kami arahkan, karena mereka semua aset sanggar ini,” ujar cah mamat.
“Untuk latihan kami jadwal setiap jam’03.00-05.30, dan itu setiap hari, kecuali hari Kamis, karena pada hari itu biasanya kami membaca yasin bersama. Jadi saya ingin di sini bukan hanya melatih seni dan karawitannya saja, tapi agamanya juga harus dapat,” jelas Eem Siti Maymunah selaku istri Cah Mamat.
“Nantinya kami akan kerjasama dengan hotel-hotel yang ada di Cirebon, untuk mengarahkan parawisata ke sanggarnya, agar mereka tahu beragam kesenian Cirebon, jadi para wisata datang ke Cirebon tidak hanya mencicipi kuliner dan batik Cirebon, tapi mereka juga menikmati seninya, sehingga lengkap,” katanya.
   Di sanggarnya berbagai jenis tari diajarkan seperti tari putri, tari bedaya, tari rimbe, tari pemaisuri, tari topeng lima wanda, tari burung, tari kajongan, ronggeng pesisir-bugis, tari manggala yuda, titi rasa dan lainnya. Tidak hanya itu saja, di sanggar tersebut anak-anak diajarkan pula alat-alat musik sebagai pengiringnya yang dinamakan seni karawitan.
Harapan Cah Mamat ke depannya, ia ingin menjadikan sanggarnya sebagai kampung seni, yang di dalamnya di isi dengan beragam seni khas Cirebon, seperti seni tari, musik, lukis, pahat, juga kerajinan tangan yang bekerja sama dengan masyarakat di kampungnya, serta kuliner malam dan penghijauan. Menurutnya, untuk mewujudkan semua itu, perlu adanya bantuan serta perhatian dari pemerintah, karena aset tersebut yang akan menjadikan Cirebon dikenal oleh seluruh warga Indonesia dan bahkan negara-negara lainnya.


0 komentar:

Posting Komentar