Sabtu, 04 Januari 2020

Tari kelana salah satu seni tari topeng


   Kota cirebon merupakan kota yang yang indah akan pariwisatanya. Bukan hanya itu cirebon pun mempunyai sebuah tari tradisional yang hingga saat ini masih buming dan banyak di minati para pecinta tari tradisional, yaitu tari topeng kelana.
Tari topeng Klana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, namun tarinya justru paling banyak disenangi oleh penonton. Sebagian dari gerak tarinya menggambarkan seseorang yang tengah marah, mabuk, gandrung, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya. Lagu pengiringnya adalah Gonjing yang dilanjutkan dengan Sarung Ilang. Struktur tarinya seperti halnya topeng lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang belum memakai kedok) dan bagian ngedok (tari yang memakai kedok).
Beberapa dalang topeng, misalnya Rasinah dan Menor (Carni), membagi tarian ini menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah tari topeng Klana yang diiringi dengan lagu Gonjing dan sarung Ilang. Bagian kedua, adalah Klana Udeng yang diiringi lagu Dermayonan.
 Tari topeng Klana sering pula disebut topeng Rowana. Sebutan itu mengacu pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh Rahwana. Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Klana dalam cerita Panji. Di Cirebon, topeng Klana dan Rowana kadang-kadang diartikan sebagai tarian yang sama, namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya Sujana dan Keni dari Slangit; Sutini dari Kalianyar dan Tumus dari Kreo; membedakan kedua tarian tersebut, hanya kedoknya saja yang sama. Jika kedok Klana yang ditarikan itu memakai kostum irah-irahan atau makuta Rahwana di bagian kepalanya dan di bagian punggungnya memakai badong atau praba, maka itulah yang disebut topeng Rowana. Kostumnya jauh berbeda dengan topeng Klana dan kelihatan sangat mirip dengan kostum tokoh Rahwana dalam wayang wong.
 Dalam pertunjukan topeng hajatan, yakni setelah tari topeng tersebut selesai, penari biasanya melakukan nyarayuda atau ngarayuda, yakni meminta uang kepada para penonton, tamu undangan, pemangku dan panitia hajat, para pedagang, dan lain-lain. Ia berkeliling seraya mengasong-asongkan kedok yang dipegang terbalik–bagian dalamnya terbuka dan bagian wajahnya menghadap ke bawah–dan kedok berubah fungsi menjadi wadah uang. Mereka memberikan uang seikhlasnya tanpa merasa ada suatu paksaan. Setelah merasa cukup, penari kembali ke panggung dan sebagai rasa terima kasih, ia kembali mempersembahkan beberapa gerakan tari topeng Klana, sebagai tarian ekstra.
Nyarayuda atau ngarayuda adalah sebuah pesan moral atau simbol yang mengingatkan kita tentang bagaimana sebaiknya berkehidupan di masyarakat. Klana adalah seorang raja yang kaya raya, yang tak kurang suatu apapun, namun ia masih merasa kekurangan, merasa segalanya belum cukup, sehingga ia tetap berusaha untuk mengambil sebanyak-banyaknya harta tanpa memperdulikan apakah itu hak atau batil. Itulah sebenarnya pesan yang ingin disampaikan nyarayuda, yang artinya bukan semata-mata mengemis. Hidup, sebaiknya lebih banyak memberi daripada lebih banyak meminta.

Udeng itu adalah sebentuk kain yang dililitkan di kepala yang melambangkan ketika seorang manusia hendak menunaikan tugas negara untuk mencapai apa yang diinginkannya tidak menggunakan mastaka, atau mahkota raja. Kain yang memberi tanda bahwa dirinya telah siap menghadapi apapun yang akan menghalang-halangi kehendaknya. Klana Udeng pada penggunaan kedoknya sama menggunakan Kedok/topeng Klana.Hanya saja ada gerakan yang tak dimiliki oleh penari topeng Klana lainnya. Dimanapun gerakan itu adalah gerakan memutarkan kepala sembari tubuhnya mengikuti gerakan 360 derajat. Untuk yang tidak terlatih dan belum meningkat pada kesadaran linuwih, seorang penari selihai apapun belum tentu bisa menggerakkannya. Ciri khas Tarian Klana Udeng yang memutar ke depan dan ke belakang bahkan mirip kayang.
Gaya memutar dengan keseimbangan penuh ini laksana penari rummi berputar tak kenal pusing dan jatuh karena memiliki kesadaran dan kekhusuan sepenuh jiwa raganya. Dalam konteks gerakan seperti ini, sebagai manifestasi bentuk reaksi diri, manakala membentengi dirinya agar menjadi kokoh, kuat dan semakin menguat. Dalam istilah ajaran Hindu-Buddha dikatakan Tiwikrama. Selain itu, ciri lainnya Klana Udeng adalah warnanya yang merah maroon, tidak memakai jamangan/praba, bergodeg (jambang), kostumnya warna merah, dan tidak pakai sobra, hanya memakai udeng saja di kepala saja.Karakter topengnya tetap sama seperti topeng klana biasa; marah, mabuk, murka, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya.Dalam pertunjukan Topeng Cirebon, Klana Udeng adalah salah satu tari yang biasanya ditampilkan pada bagian terakhir. Disebut Klana Udeng, karena salah satu bagian kostum kepalanya memakai udeng. Tarian ini muncul setelah topeng Klana selesai ditarikan. Gerakan dan musik pengiringnya berbeda dengan topeng Klana.Dari sekian banyak gaya Topeng Cirebon, Klana Udeng hanya terdapat di beberapa gaya, antara lain di daerah Pekandangan, Tambi, Indramayu, dan di daerah Cipunagara, Subang. Topeng gaya daerah lainnya, seperti Gegesik, Kalianyar, Losari, Slangit, Palimanan, dan lain-lain, tidak pernah menampilkan tari yang satu ini. Tari topeng ini menjadi sangat terkenal setelah Rasinah menarikannya di berbagai pertunjukan, baik di Indramayu, Cirebon maupun di daerah lainnya serta di luar negeri. Tarian ini kemudian malah menjadi salah satu materi ajar di beberapa sanggat tari topeng di Indramayu.Berbeda dengan topeng Klana, sebagian gerakan Klana Udeng ditarikan secara komikal. Gerakannya terkadang menirukan orang yang tengah mabuk bahkan melucu. Dalang topeng Carini dari Cipunagara, misalnya, menarikan topeng ini dengan penuh kelucuan. Selain menggambarkan seseorang yang tengah mabuk sebagian gerakannya juga mirip dengan gerakan orang yang kaki, tangan dan kepalanya lemas. Sebagian lagi gerakannya mirip dengan gerakan tari dalam Terbang Randu Kentir.

0 komentar:

Posting Komentar