Minggu, 26 Januari 2020

Punahnya Mbebarang Tari Topeng Cirebon



Galibnya berbagai daerah di Nusantara, Cirebon juga memiliki tarian tradisional yakni Tari Topeng, yang memiliki beraneka ragam keunikan dan maknanya masing-masing.  Tari Topeng Cirebon ini adalah satu kesenian seni tari asli dari Cirebon termasuk juga dari daerah  Indramayu, Jatibarang, Losari dan Brebes, Tari topeng Cirebon merupakan bagian tarian di tatar Parahyangan, mengapa dinamakan tari topeng karena memang ketika beraksi sang penari memakai topeng.

Tari Topeng Cirebon, kini menjadi salah satu tarian yang sangat langka, sebab jenis seni tari ini adalah warisan pada zaman Kasultanan Cirebon yang sering dipentaskan di kraton, penari dan penabuh gamelan hidup berkecukupan karena ditanggung Kasultanan Cirebon.

Ironisnya, Kasultanan Cirebon  tak bisa terus menerus menghidupi kelompok kesenian karena laju perekonominya diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga saat itu para penari dan penabuh gamelan akhirnya mencari mata pencaharian dengan mbebarang  atau pentas keliling kampung.

Dahulu pada tahun 1980 an Seni tari Topeng ini sering di peragakan oleh sekelompok penari jalanan untuk mencari nafkah dan berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya di kota Cirebon. Sejak itu, tari Topeng Cirebon mulai dikenal di pedesaan. Grup-grup Tari Topeng Cirebon bermunculan dan beberapa grup tari topeng sibuk mbebarang  dari desa ke desa untuk memeriahkan hajatan. tapi entah mengapa saat ini sudah sangat jarang di peragakan oleh para grup tari keliling.





Hikayat Tari Topeng Cirebon

Konon, tari Topeng Cirebon ini  diciptakan oleh Sultan Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati memimpin Cirebon, terjadilah serangan oleh Pangeran Welang dari Karawang. Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang Curug Sewu. Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya Sultan Cirebon memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara diplomasi kesenian.

Berawal dari keputusan itulah kemudian terbentuk kelompok tari, dengan Nyi Mas Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, akhirnya Pangeran Welang jatuh cinta pada penari itu, dan menyerahkan pedang Curug Sewu itu sebagai pertanda cintanya. Bersamaan dengan penyerahan pedang itulah, akhirnya Pangeran Welang kehilangan kesaktiannya dan kemudian menyerah pada Sunan Gunung Jati. Pangeran itupun berjanji akan menjadi pengikut setia Sunan Gunung Jati yang ditandai dengan bergantinya nama Pangeran Welang menjadi Pangeran Graksan.

Sementara, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang berjudul The History Of Java menyebutkan bahwa Tari topeng ini merupakan penjabaran dari cerita panji dimana dalam suatu kelompok kesenian tari topeng terdiri dari dalang (orang yang mendeskripsikan cerita) dan beberapa penari yang menggenakan topeng yang berperan sebagai wayang nya. dengan diiringi alunan musik gamelan.

Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah.

Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Tarian ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai.

Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.

Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai.

Setelah berputar-putar menggerakkan tubuhnya, kemudian para penari itu berbalik arah membelakangi para penonton sambil mengganti topeng yang berwarna putih itu dengan topeng berwarna biru.

Proses serupa juga dilakukan ketika penari berganti topeng yang berwarna merah. Uniknya, seiring dengan pergantian topeng itu, alunan musik yang mengiringinya maupun gerakan sang penari juga semakin keras.

Puncak alunan musik paling keras terjadi ketika topeng warna merah dipakai para penari.

Setiap pergantian warna topeng itu menunjukan karakter tokoh yang dimainkan, misalnya warna putih. Warna ini melambangkan tokoh yang punya karakter lembut dan alim.

Sedangkan topeng warna biru, warna itu menggambarkan karakter sang ratu yang lincah dan anggun. Kemudian yang terakhir, warna merah menggambarkan karakter yang berangasan (temperamental) dan tidak sabaran.

Busana yang dikenakan penari biasanya selalu memiliki unsur warna kuning, hijau dan merah yang terdiri dari toka-toka, apok, kebaya, sinjang dan ampreng.

Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah.

Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Tarian ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai.

Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.

Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai.

0 komentar:

Posting Komentar